Ads 468x60px

Kamis, 18 Maret 2021

Kenapa PPK tidak boleh merangkap sebagai PPSPM?

Pertanyaan yang menarik mengenai hal, mengapa PPK tidak boleh merangkap sebagai PPSPM?
Bagi para pengelola keuangan daerah, mungkin ingat bunyi pasal 12 ayat 2 Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang berbunyi :
(2) untuk ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : (....diantaranya adalah) tidak menjabat sebagai Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) atau Bendahara. 

Pada regulasi pengadaan barang jasa terbaru yaitu Perpres 16 tahun 2018 (diubah Perpres 12 Tahun 2021), pada juklak Perlem LKPP Nomor 15 Tahun 2018 (diubah Perlem 19 Tahun 2019) pada pasal 6 angka 3 disebutkan :
PPK tidak boleh dirangkap oleh : (...diantaranya adalah) Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) atau Bendahara.

Bagi para pengelola keuangan di daerah (APBD) hal ini menjadi suatu kebingungan tersendiri. Pada regulasi PP 58 tahun 2005 yang telah digantikan oleh PP 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah beserta Juklak Permendagri 13 tahun 2006 (jo Permendagri 59 tahun 2007, terakhir dengan permendagri 21 tahun 2011) yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) 77 Tahun 2020, dijelaskan bahwa salah satu kewenangan PA/KPA adalah menandatangani SPM.

Selain itu, PMDN 77 tahun 2020, jelas menyebutkan bahwa dalam hal mengadakan ikatan untuk pengadaan barang dan jasa, PA/KPA bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagian besar berpendapat, bahwa ketentuan PA/KPA bertindak sebagai PPK dan tugas kewenangan PA/KPA untuk menandatangani SPM pada pengelolaan APBD, bertentangan dengan Perpres 16 Tahun 2018 (beserta juklak Perlem LKPP Nomor 15 tahun 2018) ?
Sehingga solusinya dalam pengelolaan APBD, PA/KPA dapat menunjuk PPK diluar dari organ pengelola keuangan daerah (PPTK dan PPK SKPD)?

Jawaban dari keduanya adalah TIDAK. Perbuatan PA/KPA yang diatur Kemendagri dalam PP 12 Tahun 2019 beserta PMDN 77 tahun 2020, tidak bertentangan dengan Perpres PBJ, dan PA/KPA tidak dapat melimpahkan kewenangan dalam hal melakukan perbuatan atau tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara, kepada pihak lain. Kenapa demikian ????

Saya akan membahas pelarangannya terlebih dahulu.

kembali ke artikel saya tentang Kewenangan dalam Pengelolaan Keuangan  Kita dapat mengetahui di artikel tersebut, bahwa dalam rangka check and balances dalam pengelolaan keuangan, kewenangan administratif yang dimiliki seorang KPA pada setiap satker/kantor wajib dilimpahkan kepada pejabat dibawahnya yaitu si A (PPK) dan si B (PPSPM). Jadi pemisahan tersebut adalah karena pembagian kewenangannya, bukan dari penamaan atau istilah yang digunakan. si A yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara, tidak boleh merangkap memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian dan perintah membayar. Mesti ada atau ditunjuk orang lain lain untuk menguji tindakan si A, yaitu si B tersebut.
Andaikan si A itu berubah nama menjadi F, dan si B berubah nama menjadi si G dengan kewenangan seperti si B, maka tetap saja si F tidak boleh merangkap sebagai si G. 

Ingat.... kewenangan yang dimilikinya yang tidak boleh dirangkap, bukan dari istilah penamaannya yaitu PPK atau PPSPM.  jadi andaikan PPK berubah nama menjadi pimpro dan PPSPM berubah nama menjadi verifikator dengan kewenangan masing-masing yang sama dengan penjelasan diatas, maka pastilah pimpro tidak boleh menjabat sebagai verifikator. 

Jadi kewenangan melakukan tindakan dan kewenangan melakukan pengujian harus dipisahkan dan tidak boleh berada di tangan 1 (satu) orang sehingga tercipta check and balances. Pelarangan perangkapan lebih disebabkan karena kepemilikan kewenangan bukan dari istilah yang digunakan. Jadi teliti dan amati di mana kewenangan tersebut berada dalam pengelolaan keuangan, bukan dari istilah yang digunakan.

Bagaimana dalam pengelolaan APBD???

Pada pasal 10 angka 1 PP 12 tahun 2019 dan PMDN 77 Tahun 2020 disebutkan tugas dan kewenangan PA (yang diantaranya) adalah :
  1. melakukan tindakan yang  mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja, 
  2. mengadakan ikatan/perjanjian kerja sama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
  3. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran
  4. menandatangani SPM.
Dalam regulasi tersebut selanjutnya kita dapat menemukan bahwa, pelimpahan kewenangan administratif pada pengelolaan APBD tidak utuh. Kewenangan pada nomor 1 dan 2 tetap dipegang oleh PA/KPA, namun dalam pelaksanaan tugasnya PA/KPA dibantu PPTK (perhatikan pada pasal 12 angka 2 beserta penjelasannya), dan kewenangan nomor 3, kepada PPK SKPD (Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD). Sehingga disini, terlihat jelas dan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  • PA/KPA yang bertindak sebagai PPK dalam melaksanakan kewenangan melakukan tindakan.... serta menandatangani SPM, tidak dikategorikan melanggar regulasi perpres pbj, karena itu adalah kewenangan asal yang dimiliki PA/KPA sebagaimana diatur pada PP 12 tahun 2019.
  • pelarangan perangkapan diberlakukan bagi PPTK yang tidak boleh merangkap sebagai PPK SKPD, karena PPTK membantu PA/KPA dalam melakukan tindakan,,,,, dan PPK SKPD melakukan pengujian (verifikasi) surat permintaan pembayaran
LKPP dalam membuat regulasi menggunakan terminologi atau istilah yang dikenal atau ada dalam pengelolaan APBN, yaitu PPK dan PPSPM.
sehingga ketika bertanya tentang 2 hal ini, pelajarilah regulasi di pengelolaan keuangan APBN yaitu PP 45 tahun 2013 dan PMK 190 tahun 2010. 

Untuk mengenal PPSPM, silahkan klik untuk baca artikel Pejabat Penguji dan Penandatangan SPM (PP SPM)

Kenapa PA/KPA tidak dapat melimpahkan kewenangan kepada orang lain diluar PPTK dan PPK SKPD atau dengan kata lain PA/KPA tidak dapat menetapkan PPK dalam pengelolaan APBD diluar PPTK dan PPK SKPD?

Pertanyaan ini akan dibahas pada artikel selanjutnya...

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ą