Pernah saya baca berita kejadian di koran maupun internet, “Uang
sejumlah Rp 251 juta
yang disimpan di tujuh brandkas pada Kanto BKKBN Riau raib
digondol maling”. Berita lain di jatim, uang Rp 100 juta pada brandkas
bendahara kantor inspektort jatim dibobol maling. Baru-baru ini KPK menyita
uang 200 ribu dolar AS yang katanya uang operasional ESDM di ruang sekjen ESDM.
Apa hubungan antara “operasional”, “bendahara”, dan “brandkas” ?
Dalam pengelolaan uang APBN, dalam DIPA satker biasanya
dapat kita kelompokkan menjadi 2, biaya modal (belanja modal) dan biaya
operasional (belanja barang). Pelaksanaan belanja/pertanggungjawaban dapat menggunakan
mekanisme pembayaran langsung (LS) atau mekanisme Uang Persediaan (UP). Uang
persediaan dapat diberikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas
K/L/Satker yang dikelola oleh bendahara pengeluaran. UP tersebut digunakan
untuk keperluan membiayai kegiatan operasional sehari-hari satker dan membiayai
pengeluaran yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme pembayaran LS.
Dalam melaksanakan tugasnya, bendahara dapat menggunakan
rekening atas nama jabatannya sesuai dengan ketentuan dan tidak diperkenankan menyimpan uang atas nama pribadi pada bank/pos.
Dan untuk kelancaran pembayaran bagi keperluan operasional perkantoran,
biasanya bendahara selalu menyimpan uang dengan jumlah tertentu pada brandkas.
Selain uang UP, bendahara juga dapat mengelola uang lainnya
yang dalam penguasaannya, meliputi :
- Uang yang berasal dari kas negara, melalui SPM-LS yang ditujukan kepadanya;
- Uang yang berasal dari potongan atas pembayaran yang dilakukannya sehubungan dengan fungsi bendahara selaku wajib pungut;
- Uang dari sumber lainnya yang menjadi hak negara, seperti pengembalian belanja karena sesuatu hal.
Uang tersebut diatas tidak dapat
digunakan untuk keperluan apapun dengan alasan apapun. Disamping itu, Bendahara
bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya.
Saldo Kas pada Brandkas
Bendahara
Sejak adanya UU Paket Keuangan
tahun 2003-2004, pengaturan jumlah maksimal saldo kas tunai pada bendahara
(brandkas) sebesar Rp 10 juta, dengan sendirinya menjadi tidak berlaku. Baru
tahun 2012 dengan terbitnya PMK 190/PMK.05/2012 tentang TC Pembayaran dalam
rangka pelaksanaan APBN, dalam pasal 43 (4) disebutkan : “Pada setiap akhir hari kerja, uang
tunai yang berasal dari UP yang ada pada Kas Bendahara
Pengeluaran/BPP paling banyak sebesar Rp.50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah)”.
Ketentuan ini hanya mengatur bahwa sisa pembayaran untuk operasional pada
kas tunai bendahara (brandkas) setiap akhir hari kerja maksimal Rp 50 juta yang
berasal dari UP. Dengan demikian bila ada uang selain UP seperti dijelaskan
diatas yang dikuasai oleh bendahara, sah-sah saja disimpan di brandkas.
Sehingga saldo dalam brandkas yang dipegang bendahara mungkin saja lebih dari
Rp 50 juta pada setiap akhir hari kerja.
Apakah ini suatu kelonggaran atau keteledoran yang diberikan oleh perumus
ketentuan tersebut?
Untuk menjaga kehati-hatian, ada baiknya sebagai bendahara, membatasi
jumlah uang tunai pada brandkas dalam jumlah yang cukup. Menyimpan uang dalam
jumlah besar pada brandkas berpotensi dicuri/dibobol pihak-pihak tertentu.
Beberapa keuntungan akan diperoleh bila bendahara lebih memilih untuk menyimpan
uang dalam rekening dibandingkan tunai pada brandkas, yaitu :
- Akan lebih aman uang tersebut disimpan di rekening bendahara pada bank. Kehilangan uang pada brandkas akibat kelalaian atau ulah orang lain tetap saja menjadi tanggungjawab bendahara.
- Dengan adanya sistem Treasury Notional Pooling (TNP) dimana saldo yang mengendap pada rekening bendahara yang disimpan pada bank-bank pemerintah, maka pemerintah akan mendapatkan renumerasi dari bank umum tersebut. Sedangkan rekening bendahara yang tidak termasuk dalam TNP akan mendapatkan jasa giro yang merupakan hak negara dan harus disetorkan ke Kas Negara.
luar biasa sobat
BalasHapus